Blogs

Anne Frank (12 Juni 1929)

balibagus
| 1

Tulisan ini saya dedikasikan untuk para orangtua, guru, pemimpin negara, dan yang terpenting adalah untuk anak-anak dan remaja yang hidup dalam berbagai kesulitan. Anne Frank, seorang remaja biasa, harus berhadapan dengan kebiadaban akibat politik dan rasisme. 12 Juni, tahun ini, kalau masih hidup, mestinya ia merayakan ulang tahunnya yang ke-80
----------------------------------------------------------------------------------------------

“Aku tidak bisa dengan mudah membangun harapan dengan dasar kebingungan, penderitaan, dan kematian. Aku melihat dunia perlahan-lahan berubah menjadi suatu tempat yang liar; aku mendengar suara guruh yang sebelumnya tak pernah kudengar, yang juga akan menghancurkan kita; aku bisa merasakan penderitaan berjuta-juta orang; lalu, jika aku memandang ke surga, kufikir semuanya akan membaik …”
(Catatan Harian Anne Frank)

Bayangkanlah wajah pucat gadis itu. Dalam usia 16 tahun ia mati di kamp konsentrasi Bergen-Belsen pada bulan Maret 1945. Tidak, ia tidak gantung diri. Ia meninggal digerogoti kuman tifus di kamp jorok yang disiapkan Nazi Jerman.

Sebelum diseret ke barak kematiannya, selama dua tahun Anne dan keluarganya hidup dalam persembunyian dan menulis buku harian yang ia peroleh sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-13. Ada nada marah, bosan, dan keraguan pada diri sendiri dalam buku itu. Tapi tidak satu kata pun yang menggambarkan remaja itu berputus asa. Selalu ada yang ia harapkan, bahkan setelah kematiannya. “Aku ingin bermanfaat atau memberikan kesenangan bagi orang-orang di sekitarku yang mungkin belum mengenal diriku. Aku ingin hidup terus bahkan setelah kematianku,” tulis Anne.

Anne bukanlah peri seperti banyak digambarkan dalam cerita-cerita kepahlawanan anak-anak. Ia anak gadis biasa yang lahir dari keluarga menengah di Belanda pada tanggal 12 Juni 1929.

Dalam kegaduhan zaman seperti sekarang, ketika remaja lebih suka jalan pintas —bunuh diri— hanya karena tidak mendapat uang jajan dari orangtuanya, ketika ketangguhan menghadapi hidup dikikis oleh konsumerisme, adalah pantas mengenang kelahiran Anne Frank pada tanggal 12 Juni. Sangatlah pantas kita mengenang remaja bertubuh rapuh, berwajah pucat, berpakaian dekil, yang mampu menghadapi hari-hari kematiannya tidak dengan putus asa. Remaja yang masih bisa berbagi roti dengan anak-anak lain kendati tubuh telah menggigil kekurangan karbohidrat. Remaja yang mencoba bertahan berhadapan dengan kematian orang-orang di sekelilingnya.

Terbayang ketika Anne Frank berjalan di antara tubuh-tubuh kusut di barak konsentrasi. Terbayang ketika ia dipisahkan dengan ibunya. Terbayang ketika ia melihat orang-orang digelandang memasuki kamar gas dan dikeluarkan dari sana berbungkus karung dan ditumpuk dalam satu lubang penguburan. Setiap kali kejadian itu berulang, setiap kali pula ia membayangkan salah seorang dari tumpukan mayat itu adalah ayah atau ibunya. Tak pernah ada kepastian. Tak pernah ada daftar yang jelas, kapan giliran siapa. Tapi Anne Frank tetap memelihara harapan. “Aku masih percaya, di atas segalanya, bahwa manusia tetap benar-benar baik dalam hatinya …” tulis Anne.

Anne, seperti juga remaja lain, menulis buku harian dengan cara yang sangat polos. Ia menyatakan perasaan dan pikiran apa adanya. Ia menulis tentang gelora seksual keremajaan. Ia mempertanyakan eksistensi Tuhan. Ia protes pada orangtuanya. Tapi lebih dari semua itu adalah jeritan kemanusiaan yang bermula dari perasaan pribadinya.

Anne, gadis remaja itu, memberi pelajaran penting kepada dunia: tidak ada kepentingan politik yang pantas dijadikan alasan untuk merampas hak dan kemerdekaan orang lain. Hatta ia “hanya” seorang anak gadis Yahudi yang di mata tentara Nazi Jerman tidak pantas hidup di permukaan bumi. Buku Anne Frank sekaligus juga memberi “petuah” kepada seluruh pemimpin dunia: tak ada anak manusia yang pantas dikorbankan untuk kepentingan apa pun.

Anne, gadis remaja yang mati dalam kenistaan itu, juga mengajarkan kepada anak-anak remaja untuk tidak terlalu mudah memandang kehidupan, sekaligus tidak terlalu enteng melihat kematian. Kedua-duanya tidak bisa dibandingkan hanya dengan uang jajan atau sekadar cerita percintaan konyol.

Kebisuan di kamp konsentrasi, harkat kemanusiaan yang jatuh ke lubang yang paling dalam, kematian yang tak bisa dicari alasannya, dan segala kemusykilan yang dialami Anne sangatlah tidak sebanding dengan “alasan” anak-anak sekarang untuk sesenggukan di kamar bahkan bunuh diri. Bisa jadi, kini kita mulai lupa memberi pengertian pada anak-anak kita bahwa hidup bukan cuma jalan menuju kematian. Bahwa hidup bukanlah cuma sebuah persinggahan tak berarti. Memberi makna pada hidup adalah memahami makna perjuangan, terutama perjuangan melawan keputusasaan.

Anne Frank, karena itu, pantas dijadikan pahlawan, karena ia bukan ratu peri. Ia “hanya” seorang anak manusia biasa yang bisa merasakan kebosanan, yang bisa merasakan sakit dan lapar, sama seperti remaja mana pun. Kapan pun. Kelebihannya, Anne memandang realitas sebagai realitas. Di balik realitas itu ada harapan. Bukan cuma kematian.

—ketut syahruwardi abbas